- haroldhd2000
Manchester United, Dilema Emotional Branding dan Performa Lapangan

Hi, welcome back again di HDT Blog. Sempat skip beberapa minggu karena kesibukan, akhirnya bisa menulis lagi untuk memberikan sebuah pandangan terkini dari fenomena yang baru saja terjadi. Fenomena apa yang saya pantau? Fenomena klub sepakbola kesayangan saya MUFC. Semenjak di beli oleh keluarga Glazer dengan CEO yang bernama Ed Woodward, MUFC seringkali jadi bulan-bulanan fans nya karena lebih mementingkan bisnis ketimbang performa lapangan (baca Trophy). As we know, olahraga sulit di gabungkan dengan bisnis, karena yang satu ngomongin bagaimana saving cost atau memperbesar revenue, yang satu ngomongin performa lapangan yang membutuhkan dana besar. Butuh sebuah titik equilibrium yang sempurna ketika kita mau ngomongin bisnis dan performa lapangan agar bisa berjalan seiringingan. Ya, hanya beberapa klub saja yang bisa melakukan itu. Oke, jadi ngelantur, jadi balik lagi fenomena apa yang terjadi? terpantau oleh saya, apalagi di musim kompetisi 2020-21 yang baru saja bergulir MUFC sudah menelan kekalahan 2 kali. terkini, semalam kalah dari Totenham Hotspurs 1-6 di kandang sendiri. Sembunyi di goa dulu deh fans MUFC nya. Dan sejak kekalahan tersebut, tersiar kabar gerakan #unfollow MUFC di berbagai platform social media terutama Twitter. buat yang tau Twitter, iya, platfrom yang satu ini emang dikenal dengan konsumen nya yang garis keras. Beda dengan IG ataupun FB. apa yang bisa di lihat dari case ini dari kacamata marketing? Here we go! (ala Fabrizio Romano)
Previously on HDT blog, Saya itu suka sepakbola selain dari otomotif. Dahulu kala, saya kepincut MUFC karena bisa menang Champions League (nama jaman dulu yang sekarang sudah berubah nama menjadi UEFA Champions Leagues atau UCL) di masa injury time. Waktu kecil dulu (ya kurang lebih pas saya SMP kelas 1 lah ya), saya terheran-heran dengan performa apik dari MUFC yang bisa menyabet treble yang sangat langka saat itu. Sampai-sampai, majalah langganan saya, majalah remaja Hai waktu itu memuat profil klub ini sangat lengkap di era nya. Makin kesengsem deh.
singkat cerita, makin kesini kecintaan saya semakin kompleks dengan MUFC. terlebih pas MUFC disponsori oleh perusahaan appareal olahraga terkemuka Adidas. kebetulan saya maniak Adidas juga sampai-sampai saya anti sama merek sebelah (baca Nike) yang notabene jadi kompetitor Adidas. paling anti deh sama barang itu (baca Nike). Dulu, saya suka MUFC dan hanya sedikit mengkoleksi appareal-appareal MUFC, selain karna memang purchase power saya juga masih minim. Namun, semenjak kerjasama dengan Adidas, melonjak lah koleksi saya. dari mulai jersey, sepatu, appareal, merchandise, dll. Pokoknya hunter banget deh.
Nah, sedikit refleksi ke belakang, dulu saya sempet kepikiran bikin thesis S2 di MBA ITB saya tentang sepakbola terutama MUFC. Triggernya sebenernya karna salah satu sahabat saya berantem gara-gara sepakbola. Iya literally berantem sama teman satu kelompok belajar gara-gara teman saya ini suka timnas Italia dan teman nya lagi suka timnas Spanyol. Temen yang suka Italia ini namanya Ahadian Tofani dan yang suka timnas Spanyol ini namanya Manuel Muson. Singkat cerita, pas saya lihat mereka berantem, saya langsung kepikiran, kenapa mereka mau membela terhadap sesuatu yang tidak memberikan apa-apa kepada mereka secara fisik. kesebelasan tersebut gak kasih uang, gak kasih materi ke fans nya, tapi fans nya bener-bener bisa menjadi fans garis keras. Setelah berkutat dengan seluruh literatur yang ada, rupanya ada salah satu di materi kuliah marketing yang namanya emotional branding yang membahas gejala-gejala tersebut. Namun, karena pada waktu itu literatur nya masih sangat sedikit, saya urungkan niat membahas emotional branding. Tapi Thesis saya tetep sepakbola bahkan tentang MUFC yang berjudul The Analysis of Manchester United Chance to Entering Indonesian Market Based on Consumer Behavior Of Manchester United Fans In Indonesia. Waktu itu banyak yang skeptis judul Thesis tentang sepakbola (MUFC pulak, cari data nya dari mana?), namun setelah berkomunikasi langsung dengan MUFC saya di berikan akses eksklusif yang bisa mengolah data mulai dari marketing strategi mereka dan diberikan akses ke laporan keuangan pada waktu itu. Girang bukan main. Namun, semua ada syarat nya, saya harus submit thesis saya ke MUFC dan apapun hasil Thesis saya, bisa digunakan oleh MUFC dalam strategi mereka. beli copyright lah singkat nya. For me, its not a problem. lets do it.
Pada saat saya melakukan thesis tersebut, ada 4 objective yang ingin dicapai oleh MUFC, 4 objective tersebut adalah :
Maintaining playing success. Alias memenangkan banyak trophy. Tujuan nya untuk mempertahankan hegemony MUFC di ranah domestik dan internasional.
Treating fans as customers. di tahun 2011, MUFC dah melihat fans itu sebagai mesin bisnis mereka. Gak heran, mereka benar-benar mengekspoitasi fans nya untuk mendapatkan revenue sebanyak mungkin.
Leverage the global brand. Sejalan dengan point 1 dan 2 MUFC memang mengarahkan brand nya sebagai brand terkemuka di dunia. Gak heran, mereka banyak bekerjasama dengan partner lokal untuk makin meningkatkan brand equity mereka di masing-masing negara.
Developing media club right. eksploitasi jenis lain dari MUFC dimana mereka benar-benar menjual nama besar mereka secara eksklusif ke partner-partner yang ada.
Ke empat objective tadi, pastinya akan mendukung bisnis MUFC yang notabene berdasarkan data deloitte tahun 2011 memiliki sumber-sumber seperti :
Match days revenue. Kontribusi dari revenue ini terhadap total revenue sebesar 34%
Media revenue. Kontribusi dari revenue ini terhadap total revenue sebesar 36%
Commercial revenue. Kontribusi dari revenue ini terhadap total revenue sebesar 28%
logic sense dari angka-angka tersebut, point mana yang bisa di tingkatkan oleh MUFC secara lebih mudah di masa mendatang? Jelas point 2 dan 3. Point 1 bakal mandek karna kalau mau di tingkatkan ya harus memperbesar stadion / naikin harga tiket masuk secara signifikan. Hal yang sangat sulit terutama bagian upgrade stadion.
dari point 2 dan 3 tersebut, maka mau tidak mau MUFC harus benar-benar mengeksploitasi fans mereka sebagai customers, dan pada 2011 saya memiliki frameworks klasifikasi fans MUFC pada waktu itu sbb :
Low Knowledge and Low Involvement. fans jenis ini jenis-jenis fans yang glory hunter. Pas main bagus di bela, main jelek di tinggal. gak ada loyal-loyal nya. habis itu, kalaupun sedang di bela, mereka gak banyak konsumsi goods dan service yang di tawarkan oleh MUFC.
Low Knowledge and high involvement. fans jenis ini sama kaya yang pertama, cuma bedanya mereka lebih modal. Pas MUFC juara, mereka konsumsi goods dan service MUFC.
High knowledge and low involvement. Fans garis keras tapi purchase power nya mssih minim. Sangat berpotensi untuk di eksploitasi oleh MUFC di masa mendatang saat mereka sudah punya purchase power.
High knowledge and high involvement. sebuah kuadran fans favorit dari setiap bisnis olahraga. sudah loyal, royal pula.

pada tahun 2011, porsi terbesar komposisi fans MUFC ada di kuadran no 3 dan 4. kalau denger sampai sini, gak heran kan MUFC bener-bener membuat strategi bisnis nya untuk meningkatkan media revenue dan commercial revenue.
Nah, balik lagi ke paragraph awal yang menjelaskan gerakan #unfollow MUFC di social media apakah itu bakal ngaruh atau tidak ke performa bisnis mereka? Menurut analisa saya, tidak. percaya atau tidak sebuah pepatah yang mengatakan bahwa "if you're not paying a product, you are the product." So, gerakan #unfollow tersebut sebenarnya agak sia-sia karena :
MUFC pasti sudah mengcapture unique data dari base fans nya sedemikian rupa melalui berbagai platform internet analytical. Unfollow mungkin sudah , tapi ads MUFC dan seluruh partnernya akan senantiasa bermunculan di timeline soc med anda.
MUFC sadar bahwa base customernya sudah tinggi knowledge nya, mereka hanya perlu di trigger dengan sedikit nostalgia dan performa untuk kembali membela MUFC. kalau ikutin MUFC di social media, itulah kenapa MUFC banyak sekali membuat konten "on this day" untuk mengulang histeria dari fans nya.
MUFC sadar bahwa fans nya terutama yang ada di Indonesia, memiliki basis generasi late 80 an, 90 an dan (mungkin) awal 00 an yang notabene sudah punya purchase power saat ini. So, akan mudah untuk MUFC mengeksploitasi anda dan seluruh interest anda untuk kembali mengkonsumsi apapun yang related ke MUFC.
Karna basis pendukung MUFC sampai dengan 2011 tadi banyak nya bukan low knowledge (glory hunter), so they do not too care about performa lapangan. Yang penting buat MUFC yang monetisasi pendukung nya saja. Toh mereka sudah loyal, tinggal di bikin makin royal
Jadi, dengan keseluruhan cerita dan latar belakang yang ada, apakah anda masih tetap mendukung MUFC? kalau saya sih iya.
Terlalu banyak nostalgia yang gak bisa di lupain bersama dengan MUFC perasaan senang, sedih, kecewa dan bangga sudah terlalu complicated di benak saya sehingga apapun yang terjadi, United till i die. Glory Glory Manchester United!
Ps : waktu saya bikin Thesis tentang MUFC ini, Glazer family udah jadi owner MUFC dimana annual interest payable on bonds nya akan mature di 1 Feb 2017. Oh ya, Ed Woodward waktu itu masih jadi Chief of Staff nya MUFC. #LUHG #WoodwardOut #GlazersOut #GGMU